Asep Wahyuwijaya: Tolak Pileg dengan Sistem Proporsional Tertutup

 


BOGOR - Polemik wacana sistem pemilihan legislatif antara proporsional tertutup dan terbuka kembali mengemuka.

 

“Sebelum panjang lebar menjelaskan apa perbedaan dari dua sistem dalam pemilihan legislatif tersebut, secara pribadi, secara tegas saya harus mengutarakan sikap di awal bahwa saya menolak pemberlakuan sistem proporsional tertutup dan mendukung sistem pemilihan legislatif dengan menggunakan sistem proporsional terbuka,” ungkap Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, Asep Wahyuwijaya.

 

Mengapa? Menurut kang AW (sapaan akrab,red), secara historis, pemilihan legislatif (Pileg) yang menggunakan sistem proporsional tertutup ini sesungguhnya merupakan sistem pileg yang digunakan pada era orde baru.

 

“Sebuah era dimana kehidupan politik dan kenegaraan kita cenderung berlangsung dengan sewenang-wenang, jauh dari prinsip dan nilai-nilai demokrasi serta tak memberikan pendidikan politik yang layak bagi warganya,” tutur Presidium MW Kahmi Jawa Barat tersebut.

 

Dalam sistem pemilihan proporsional tertutup, sambung dia, masyarakat pemilih hanya difasilitasi untuk mencoblos logo atau lambang partai.

 

Akibatnya, warga berpotensi menjadi tidak mengenal siapa sesungguhnya calon anggota legislatif yang nantinya akan duduk sebagai anggota parlemen.

Hubungan rakyat sebagai pemilik mandat atau pemberi suara menjadi jauh dan bahkan tidak ada sama sekali.

 

“Dalam sistem proporsional tertutup suara rakyat seolah telah dititipkan kepada partai politik dan partai politik itulah yang kemudian akan menentukan siapa yang berhak duduk sebagai anggota dewan pada semua tingkatan,” ungkap legislator asal Kabupaten Bogor itu.

 

Akhirnya, kata kader partai yang duduk di lembagai legislatif pun sebatas menjadi wakil parpol saja dan bukan menjadi wakil rakyat yang sesungguhnya.

 

Kader partai yang duduk di lembaga legislatif tidak lebih dari seorang kader jenggot yang akarnya tumbuh ke atas dan tak memiliki basis di akar rumput pada pemilihnya.

 

Kader partai yang didudukan menjadi anggota legislatif pun tak lebih dari produk oligarkhis dari elit partai sehingga yang bersangkutan tak memiliki kewajiban untuk mengembalikan budi kepada warga yang secara mendasar telah memilih parpolnya.

 

“Karenanya, secara mendasar, upaya untuk memberlakukan kembali sistem proporsional tertutup selain merupakan sebuah langkah mundur ke zaman orde baru juga harus dipandang sebagai upaya untuk memberangus kehidupan demokrasi yang sudah semakin sehat dan maju,” jelas kang AW.

 

Dalam sistem proporsional terbuka, menurut dia, ketika rakyat pemilih pun difasilitasi untuk menentukan pilihannya kepada seorang caleg, berapapun nomor urutnya, maka hubungan rakyat dengan wakilnya pun menjadi dekat dan tanpa sekat.

 

“Daulat rakyat yang tercermin dalam pilihannya, baik pada saat memilih parpol dan atau calegnya, jauh lebih dihargai dalam sistem pemilihan legislatif proporsional terbuka,” kata Asep Wahyuwijaya.

 

Ia menambahkan, akar demokrasi bermula dari penghormatan terhadap suara dan pilihan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.

 

Penghargaan terhadap daulat rakyat sebagai pemegang mandat sesungguhnya dalam sistem demokrasi jauh melampaui daulat parpol itu sendiri.

 

Dalam pemilihan legislatif proporsional terbukalah, daulat rakyat jauh lebih dihargai ketimbang daulat parpol itu sendiri.

 

Kang AW menegaskan, berbeda dengan sistem Pileg dengan proporsional tertutup dimana parpol justru dapat membajak suara rakyat atas nama kedaulatan parpol sebagai peserta pemilu.

 

“Hal teknis yang malah meniadakan hal yang substantif atau mendasar,” papar Asep Wahyuwijaya.

 

“Atas dasar alasan itu, maka menolak dengan tegas pemilihan umum dengan sistem proporsional tertutup merupakan wujud sesungguhnya terhadap penghormatan dan penghargaan terhadap daulat rakyat dan prinsip-prinsip demokrasi,” pungkas Asep Wahyuwijaya.

 

 Sumber: RBG

0 Komentar