BOGOR – Undang-Undang (UU) Cipta Lapangan Kerja
(Cilaka)yang baru saja disahkan oleh DPR RI, menjadi sorotan berbagai pihak.
Salah satunya datang dari anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, Asep Wahyuwijaya.
Menurut dia,
pengesahan UU sapu jagat tersebut telah melahirkan problem yang amat
paradigmatik. Bukan hanya akan merampas hak-hak asasi kaum buruh, merugikan
kaum petani, dan menghancurkan lingkungan namun juga dapat dianggap berpotensi
merobekrobek konstitusi.
“Saya kira kesalahan
fatal dibuatnya omnibus law yang berdampak pada munculnya penolakan dari
masyarakat ini adalah karena RUU ini tidak sepenuhnya disandarkan pada
konstitusi, pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Di situ menyebutkan setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja,” ujarnya kepada Radar Bogor.
Jadi alih-alih
hasilnya menjadi ideal, menurut dia, yang terjadi malah muncul kesan produknya
jadi amat pragmatis dan sarat dengan pasal-pasal yang sifatnya transaksional
dan tentunya merugikan sebagian besar
masyarakat.
“Bukan hanya mencabut
hak-hak asasi kaum buruh saja, yang dalam hal ini jadi cenderung
menguntungkan pengusaha. Tapi dengan dibukanya peluang impor pangan tentu
akan merugikan para petani kita di desa,” tegas Ketua Fraksi Partai Demokrat
DPRD Jabar tersebut.
Dia menilai, bukannya
memberdayakan para petani dengan memfasilitasi kebutuhannya yang ujung-ujungnya
nilai tukar petaninya (NTP) meningkat, UU Cilaka ini malah membuka keran impor
pangan. “Lagi-lagi, pengusaha importir pangan lagi yang diuntungkan,”
imbuhnya.
Belum lagi bicara soal
penguasaan lahan yang berpotensi merugikan masyarakat adat dan analisis dampak
lingkungan (amdal) yang
dikesampingkan yang juga berpotensi merusak lingkungan.
Sehingga, dari
berbagai alasan itulah Demokrat menjadi partai yang paling kencang menolak
pengesahan UU Cipta Karya di DPR, Senin (5/10) lalu. “Lantas, ketika proses
pengesahannya dibuat sedemikian cepat, kita pun akhirnya jadi bertanya-tanya
mengapa untuk materi dan substansi UU serumit ini harus dikerjakan dengan
terburuburu,” beber dia.
Penolakan dari kaum
buruh saja, kata Kang AW sapaan akrabnya, sudah cukup untuk mencerminkan bahwa
sosialisasi dan pelibatan materi untuk satu klaster aturan dalam omnibus law
kepada stakeholders lainnya sangat minim.
Bagaimanapun pada
akhirnya dia sangat respek dengan apa yang telah dilakukan oleh DPP Partai
Demokrat melalui Fraksi Partai Demokrat di DPR RI yang telah mengambil sikap
politik yang tegas dan walk out pada saat rapat paripurna pengesahan RUU Cilaka
di DPR RI.
Argumentasinya amat
logis dan menunjukkan keberpihakan Dia mengungkapkan, jalan konstitusional
terakhir yang bisa dilakukan untuk menemani para warga dan mahasiswa yang turun
ke jalan tinggal upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Mudah-mudahan upaya
ini memberikan hasil akhir yang baik untuk semua pihak,” pungkasnya.
Sumber: Radar Bogor (8/10/2020)
0 Komentar