BANDUNG - Anggota DPRD Jabar Asep Wahyuwijaya turut menyoroti persoalan mangkraknya sejumlah proyek infrastruktur di Kabupaten Bogor. Menurut dia, persoalan itu tak lepas dari buruknya mental aparat birokrasi di Kabupaten Bogor.
Asep yang mewakili daerah pemilihan (dapil) Kabupaten Bogor itu mengaku sudah sejak jauh hari menyoroti persoalan tersebut, di antaranya mangkraknya proyek peningkatan Jalan Barengkok-Pabangbon di Kecamatan Leuwiliang senilai Rp12,58 miliar dengan PT Bumi Siak Makmur sebagai kontraktornya dan peningkatan Jalan Cicangkal-Maloko di Rumpin dengan nilai Rp3,6 miliar yang dikerjakan CV Tolping Jaya. Bahkan, kata Asep, belum lama ini, dirinya meninjau langsung proyek ruas jalan yang mangkrak itu.
Diketahui, salah satu proyek jalan tersebut dananya berasal dari program Bantuan keuangan (Bankeu) Pemprov Jabar. Asep pun menyayangkan mangkraknya proyek jalan tersebut sekaligus menilai konyol persoalan itu. Pasalnya, dana yang sudah diberikan Pemprov Jabar untuk proyek tersebut malah tidak digunakan.
Diketahui, salah satu proyek jalan tersebut dananya berasal dari program Bantuan keuangan (Bankeu) Pemprov Jabar. Asep pun menyayangkan mangkraknya proyek jalan tersebut sekaligus menilai konyol persoalan itu. Pasalnya, dana yang sudah diberikan Pemprov Jabar untuk proyek tersebut malah tidak digunakan.
"Saya tentu menyayangkan hal ini bisa terjadi. Minta bantuan anggaran ke Pemprov Jawa Barat, sekalinya dikasih, eh ini malah gak diserap atau dibuat mangkrak pekerjaannya (Jalan Pabangbon -Barengkok, itu kan konyol namanya," ungkap Asep kepada SINDOnews, Jumat (17/1/2020).
Untuk dipahami, Asep menjelaskan bahwa mekanisme pengajuan Bankeu ke Pemprov Jabar dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota se-Jabar berdasarkan kebutuhannya masing-masing. Jika pengajuan tersebut disetujui, kata Asep, maka secara teknis pemerintah kabupaten/kota sebagai pelaksananya, mulai dari urusan lelang proyek, penunjukan mitra swasta, hingga pengawasan jalannya proyek.
"Jadi singkatnya, Pemprov Jabar tak tahu menahu soal teknis pekerjaan di lapangan, kecuali kalau ada program provinsi yang pekerjaannya dititipkan ke pemerintah kabupaten/kota, seperti proyek alun-alun misalnya, pemprov masih suka cawe-cawe di situ," bebernya.
Asep melanjutkan, mangkraknya sejumlah proyek infrastruktur di Kabupaten Bogor, baik yang didanai APBD kabupaten Bogor maupun Bankeu Pemprov Jabar dinilainya tak lepas dari masalah buruknya mental aparat birokrasi di Kabupaten Bogor.
"Secara kritis, saya ingin menyoroti masalah buruknya mental aparat birokrasi di Kabupaten Bogor. Mangkraknya proyek infrastruktur di Kabupaten Bogor secara prinsip disebabkan oleh faktor ini," tegas legislator dari Fraksi Demokrat itu.
"Sudah menjadi rahasia umum kalau pada proyek-proyek pembangunan di Pemkab Bogor itu ada istilah ijon dan biong," sambung Asep.
Untuk dipahami, Asep menjelaskan bahwa mekanisme pengajuan Bankeu ke Pemprov Jabar dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota se-Jabar berdasarkan kebutuhannya masing-masing. Jika pengajuan tersebut disetujui, kata Asep, maka secara teknis pemerintah kabupaten/kota sebagai pelaksananya, mulai dari urusan lelang proyek, penunjukan mitra swasta, hingga pengawasan jalannya proyek.
"Jadi singkatnya, Pemprov Jabar tak tahu menahu soal teknis pekerjaan di lapangan, kecuali kalau ada program provinsi yang pekerjaannya dititipkan ke pemerintah kabupaten/kota, seperti proyek alun-alun misalnya, pemprov masih suka cawe-cawe di situ," bebernya.
Asep melanjutkan, mangkraknya sejumlah proyek infrastruktur di Kabupaten Bogor, baik yang didanai APBD kabupaten Bogor maupun Bankeu Pemprov Jabar dinilainya tak lepas dari masalah buruknya mental aparat birokrasi di Kabupaten Bogor.
"Secara kritis, saya ingin menyoroti masalah buruknya mental aparat birokrasi di Kabupaten Bogor. Mangkraknya proyek infrastruktur di Kabupaten Bogor secara prinsip disebabkan oleh faktor ini," tegas legislator dari Fraksi Demokrat itu.
"Sudah menjadi rahasia umum kalau pada proyek-proyek pembangunan di Pemkab Bogor itu ada istilah ijon dan biong," sambung Asep.
Asep membeberkan, pemenang lelang proyek di Kabupaten Bogor kerap menawar harga proyek dengan nilai yang tidak wajar. Lalu, proyek yang dia menangkan kembali dijual kepada pengusaha lain yang tidak punya pekerjaan dengan mengambil keuntungan di muka.
"Sehingga, sudah lumrah kalau di Kabupaten Bogor itu pemenang lelang bukan berarti pelaksana proyeknya sendiri," ungkapnya.
Lewat modus tersebut, pengusaha pelaksana proyek itu sendiri hanya memiliki dua pilihan, mendapat keuntungan yang tipis atau sengaja dibuat mangkrak saat disadari bahwa pekerjaannya tak feasible.
"Nah, modus operandi begini cukup marak di Kabupaten Bogor. Omong kosong kalau kejadiannya terus berulang setiap tahun jika tanpa melibatkan aparat di jajaran PUPR (Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) Kabupaten Bogor sendiri kan?" katanya.
Asep menyimpulkan bahwa pembangunan infrastruktur di Kabupaten Bogor masih saja dipandang dalam pendekatan proyek, bukan sebagai ikhtiar yang dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat.
"Jadi, kalau pembangunan itu tidak ada faedah buat dirinya, bisa saja pembangunan itu dibuat mangkrak, peduli amat dengan nasib rakyat," imbuh Asep.
Menurut Asep, paradigma itu tentu sangat berbahaya jika menjadi bagian dari perilaku birokrat di Kabupaten Bogor. Hal itu tentu menjadi 'pekerjaan rumah' bagi Bupati dan Wakil Bupati Bogor ke depan dalam melakukan reformasi birokrasi yang bukan hanya melakukan reposisi atas pejabat-pejabatnya, namun juga membenahi soal mental, sikap, dan karakter birokratnya.
"Jika hal ini bisa dilakukan, insya Allah seluruh urusan pembangunan di Kabupaten Bogor ini bisa diselesaikan sesuai dengan visi dan misi Panca Karsa, bukan hanya soal serapan anggaran bantuan keuangan saja," tandasnya.
Sementara itu Kadis PUPR Kabupaten Bogor Soebiantoro ketika dihubungi SINDOnews, Jumat malam (17/1/2020) via ponselnya tidak diangkat.
"Sehingga, sudah lumrah kalau di Kabupaten Bogor itu pemenang lelang bukan berarti pelaksana proyeknya sendiri," ungkapnya.
Lewat modus tersebut, pengusaha pelaksana proyek itu sendiri hanya memiliki dua pilihan, mendapat keuntungan yang tipis atau sengaja dibuat mangkrak saat disadari bahwa pekerjaannya tak feasible.
"Nah, modus operandi begini cukup marak di Kabupaten Bogor. Omong kosong kalau kejadiannya terus berulang setiap tahun jika tanpa melibatkan aparat di jajaran PUPR (Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) Kabupaten Bogor sendiri kan?" katanya.
Asep menyimpulkan bahwa pembangunan infrastruktur di Kabupaten Bogor masih saja dipandang dalam pendekatan proyek, bukan sebagai ikhtiar yang dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat.
"Jadi, kalau pembangunan itu tidak ada faedah buat dirinya, bisa saja pembangunan itu dibuat mangkrak, peduli amat dengan nasib rakyat," imbuh Asep.
Menurut Asep, paradigma itu tentu sangat berbahaya jika menjadi bagian dari perilaku birokrat di Kabupaten Bogor. Hal itu tentu menjadi 'pekerjaan rumah' bagi Bupati dan Wakil Bupati Bogor ke depan dalam melakukan reformasi birokrasi yang bukan hanya melakukan reposisi atas pejabat-pejabatnya, namun juga membenahi soal mental, sikap, dan karakter birokratnya.
"Jika hal ini bisa dilakukan, insya Allah seluruh urusan pembangunan di Kabupaten Bogor ini bisa diselesaikan sesuai dengan visi dan misi Panca Karsa, bukan hanya soal serapan anggaran bantuan keuangan saja," tandasnya.
Sementara itu Kadis PUPR Kabupaten Bogor Soebiantoro ketika dihubungi SINDOnews, Jumat malam (17/1/2020) via ponselnya tidak diangkat.
(Sumber)
0 Komentar